Pages

Rabu, 23 September 2015

Prompt #89 : Terbaring di Kasur Pengantin

Oleh Ashhadi Permana

Sumber gambar : http://www.anneahira.com/bed-cover-pengantin.htm

Istriku sedang ada tugas ke daerah lagi dan aku akan kesepian lagi sebulan ke depan. Malang bagiku jadi lelaki rumah tangga. Sialnya, aku ini lelaki yang gampang tergoda jika tidak ada kegiatan sepanjang hari. Aha ... mau bagaimana lagi, saatnya untuk menemui sang pujaan hati.

Sayang, maaf aku baru menemuimu sekarang. Soalnya istriku orangnya teliti. Kalau terlalu sering, pasti dia akan  tahu.” Kubelai rambut wanita yang terbaring disampingku.

“Sayang... sudah dong marahnya. Aku tahu kamu cemburu. Kan sudah kubilang, aku terpaksa menikahi wanita itu karena desakan ibu.” Gumamku lembut seraya mencium kening putihnya. Namun dia masih saja diam cemberut. Ah.. sepertinya dia sudah marah tingkat dewa.

“Kau tahu kan ibuku? Dia tak pernah merestui hubungan kita. Dan waktu itu kau malah menghilang entah kemana. Lalu aku dipaksa menikah dengan perempuan pilihannya. Bahkan tak tanggung-tanggung, ibu mengancam akan bunuh diri jika aku menolak permintaannya kali ini. Mau bagaimana lagi, aku tak bisa menolak. Jadi kuputuskan untuk menikahinya. Setidaknya sampai aku menemukanmu. Dan sekarang aku sudah menemukanmu. Janji, secepatnya akan segera kuurus perceraian.”

***

Sekumpulan pria berbaju putih tiba-tiba muncul dan mendobrak sebuah pintu yang terhubung ke ruang rahasia. Di antaranya berdiri seorang wanita dengan koper besar di sebelah kanan.

“Ternyata kecurigaanku benar.” Gumam wanita itu menahan tangis.
“Jangan sentuh calon pengantinku!” lelaki yang terbaring di kasur seketika memeluk wanita di sampingnya.
“Cepat bawa dia ke ambulans!” seru pria tegap memerintah bawahannya.

Wanita dengan baju kantoran menutup mulut dan hidungnya rapat seraya menunjuk kasur ala pengantin di sudut ruangan. Dahinya mengerut seperti tak kuat menahan sesuatu. 

“Pak, tolong bersihkan dulu mayat itu. Saya nggak tahan baunya!”

-End-
264 kata - untuk meramaikan tantangan Monday Flash Fiction  




Jumat, 18 September 2015

Pasien Tengah Malam

Ayu
Saat itu pukul 9 malam. Klinikku akan tutup ketika seorang wanita muda dengan rambut sebahu menggunakan daster berdiri di depan pintu. Wajahnya tampak letih dan pucat.
"Ibu, saya mau melahirkan sepertinya. " Lirihnya.
"Sini saya periksa,mba."
Segera kuminta ia berbaring di ranjang. Dan benar sudah bukaan 8. Segera kupersiapkan perlengkapan melahirkan. Sambil menyiapkan alat-alat, sesekali wanita itu kuajak ngobrol. Agar ia tidak didera kepanikan.
"Kok sendiri mbak? Keluarganya di mana?"
"Tinggal di mana?"
"Namanya siapa?"
Aku mengkerut, setiap pertanyaanku hanya dijawab dengan senyuman sambil menahan sakit. Wanita ini tak banyak bicara. Untuk beberapa pertanyaan ia hanya menjawab iya dan tidak.
Proses persalinan pun berjalan lancar. Tangisan bayi itu mengguratkan senyuman lepas pada wanita muda tersebut. Bayinya perempuan dan cantik. Kubiarkan ia menggendong bayinya. Setelah itu aku mencuci beberapa benda yang terciprat darah. Setelah usai mencuci dan kembali ke ranjang, aku tersentak. Ranjang kosong. Wanita itu dan bayinya tak ada. Lamat-lamat tampak kertas di atas tanjang. Setelah kubaca, kertas itu berisikan alamat dan pesan : uang persalinan mintalah ke alamat ini untuk nama ayu.
Esoknya kucari alamat tersebut. Lelaki dan wanita setengah baya meyambutku. Aku menceritakan segalanya.
Mereka saling tatap. Seolah tak percaya dengan ceritaku. Sang ibu lalu mengambil foto.
"Orang ini kah yang ibu ceritakan?"
"Iya, bu. Benar orang itu."
Aku menghembuskan nafas lega. Setidaknya alamat yang diberikan benar dan biaya persalinan dapat dibayar.
"Dia Ayu anak kami."
Aku mengangguk.
"Memang dia hamil bu, sudah mau melahirkan... tapi..."
Suaranya terhenti. Ibu itu menatapku dengan wajah pucat.
"Tapi ayu sudah meninggal 3 bulan lalu."
Tenggorokanku tercekat. Rasanya jantungku mau copot. Tubuhku bergetar. Dan tiba-tiba di balik ibu dan ayahnya tampak bayang-bayang ayu yang tengah menggendong bayi tersenyum kearahku. Aku lemas.

Kamis, 17 September 2015

Short Story List



Gadis Pengunyah Hujan - Robi Suganda
Kerinduan Robert (Cyber Punk) - Robi Suganda

Gadis Pengunyah Hujan


Oleh Robi Suganda

Sumber Gambar : riskandani93.wordpress.com


Apa yang ada dalam benaknya ? 
Setiap kali hujan menyapa bumi, 
di halaman komplek ruko, 
kudapati seorang gadis tanpa malu sedikit pun 
selalu melakukan hal aneh.

Bermula ketika hari kedua setibaku di ruko milik paman. Ayah memaksaku menemani paman saat libur kuliah. Ketika hujan turun, saat hendak menutup jendela lantai atas, Aku terperangah. Tampak seorang gadis, memejamkan mata sambil membuka tangannya lebar-lebar, kepalanya menengadah ke langit. Seolah menyambut rinai-rinai hujan yang membasahi sekujur tubuhnya. Ia tersenyum lantas setengah berlari mengitari halaman. Ia seperti kegirangan menyambut hujan.

"Gadis bodoh, paling habis ditembak lelaki, " lirihku lantas menutup jendela.

Saat makan malam, kutanyakan ikhwal gadis itu. Paman menggeleng, lalu tiba-tiba berujar,

"Setahu paman, kekasihnya pernah kecelakaan dekat sini." Kutangkap raut aneh dari wajahnya. Aku terpekur, gadis yang malang, batinku. 

Tidak hanya sekali, esok, lusa bahkan dalam seminggu tiap kali hujan turun, ia melakukan hal yang sama. Ini jelas bukan tentang cinta. Dan entah mengapa perlahan aku jadi menikmati tingkahnya. Hingga tiap datangnya hujan, sesuatu dalam hati mendorongku untuk mengintipnya lewat jendela.

***

Malam ini langit cerah. kulihat ia tengah duduk seolah menanti kedatangan hujan. Setelah mengumpulkan keberanian, didesak oleh rasa ingin tahu yang tak tertahankan, kucoba menghampirinya.

"Hujan itu kenangan, aku hanya menikmatinya," Ungkapnya menjawab rasa ingin tahuku. Ia menjawab santai sambil menggoyang-goyangkaan kakinya.

"Karena itu kamu selalu menari-nari kala hujan tiba?" Ia bergeming, tersenyum memandangi langit. Lalu tanpa melihatku, ia membalas,

"Mungkin, Kak. suatu saat bergeraklah bersamaku di bawah rinai-rinai hujan ini. Kakak akan mengerti," gadis itu lantas menatapku, seolah ia berseru dengan nada menantang, Berani?

"Ogah!" aku melengos.

***

Hujan tiba. Angin melalui celah jendela membisikiku, lantas seperti biasa segera diam-diam kuintip gadis itu melalui jendela. Hujan mereda, tapi tetap tak nampak batang hidungnya. Begitupun esok dan lusa. Berasa kehilangan. Kecemasan menggelayutiku. Kuminta alamatnya pada paman. Ia terdiam dan menyodorkan selembar kertas berisi alamat. Aku mengetuk pintu rumahnya, yang ternyata tidak jauh.

"Fais? Silahkan masuk." Pria setengah baya itu langsung menuntunku kekamar. Dahiku berkerut. Ada yang mengganjal. Kudapati gadis itu terbaring lemah dengan selimut menyelimuti hampir seluruh tubuh selain kepala.

"Ternyata kamu sakit."

"Akibat hujan sepertinya."

"Siapa suruh bermain hujan."

"Kamu."

"Maksudmu?"

Ia diam lalu menunjuk sebuah foto yang bertengger di dinding belakangku. Aku terkejut. Tampak gambar kami berdua. Hah. Bagaimana bisa. Beribu tanda tanya hinggap di kepala. Seolah membaca raut penuh tanya, Ia berkata,

"Kamu hilang ingatan Fais, karena kecelakaan setahun lalu." Langit-langit terasa runtuh. Pikiranku kacau. Perasaan campur aduk. Mendadak aku pamit tanpa berkata apapun.

Itulah mengapa tadi ayahnya tahu namaku, padahal tak pernah sekalipun kuberitahu gadis itu?Kecelakaan itukah yang dimaksud paman dulu? Apakah ia menari demi membuka kembali kenangan? Inikah mengapa ayah memaksaku kesini? Pertanyaan demi pertanyaan menghujani kepalaku. Menyesakkan dada. Aku berlari entah karena apa. Semuanya tampak kabur. Benarkah semua ini?

Hujan menyapa. Mendadak aku berhenti. Membiarkan bulir-bulirnya menyentuh pori-pori kulitku. Mataku terpejam. Menikmati. Lantas perlahan pikiranku melayang. Tampak diriku dan gadis itu berlari-lari di bawah hujan. Begitu riang. Si gadis tertawa lebar. Satu demi satu kenangan itu hadir. Apakah gadis penyuka hujan itu adalah kekasihku?

-End-

Kerinduan Robert (Cyber Punk)

Oleh Robi Suganda

"Aku mencintaimu."
Robert tersenyum. Bulir-bulir bening berhamburan dari kelopaknya. Ia terharu.

***

Berpuluh-puluh tahun, sejak usia 25, ia habiskan setiap detiknya dalam ruangan bawah tanah. Ruangan rahasia yang tersembunyi dalam rumah besarnya. Sejak kecil, kesepian adalah sahabat setia Robert. Orang tuanya selalu sibuk berdagang keliling eropa. Mereka memercayai Robert pada pengasuh. Pengasuh yang sama sekali tak peduli dan tidak menyenangkan.Kehadiran pengasuh bukan mengobati kesepiannya, malah memperlebar ruang kesepian di hati robert. Ia bahkan lupa hingga tak mengenal apa itu cinta, perhatian atau kasih sayang.

Saat SMA, Robert tertarik dengan elektro. Ia senang merakit aplikasi-aplikasi sederhana. Rasa ingin tahu yang besar dan demi mengobati kesepiannya yang berlarut-larut, Robert menghabiskan waktunya membaca dan bereksperimen hingga larut malam di lab sekolah.

Tak di sangka, Robert mampu melampui teman bahkan guru-gurunya. Mereka berdecak tak percaya melihat kejeniusan Robert memecahkan hal rumit. Robert mampu menguasai bahasa Assembler, bahasa pemrogaman tingkat tinggi. Menguasai Mikrokontroller dan PLC, otak dari sistim otomatisasi. Ia pun mengenal dan menguasai penggunaan dan prinsip kerja segala perangkat keras bahkan yang belum ada di sekolahnya. Robert penyendiri, begitu julukannya dulu, berubah menjadi Robert jenius.

Suatu hari, beberapa mitra bisnis serta kolega-kolega dari mancanegara datang ke rumah mencari orang tua Robert. Mereka lalu memaksa menggeledah isi rumah. Namun mereka tak menemukan seorangpun selain pengasuh. Sebagian dari mereka melapor pada polisi. Kota gempar dengan kehilangan sepasang pedagang yang punya pengaruh dan disegani di kota.

Sedangkan Robert hanya menyendiri di ruang rahasianya. Seolah tidak peduli dengan kegemparan tersebut. Sementara Pengasuhnya, mengetahui ketidakjelasan keberadaan orang tua Robert dari polisi setelah berbulan-bulan, memutuskan berhenti, meninggalkann robert dan rumah megahnya. Kini, di rumah besar yang sekarang tampak kusam itu, hanya ditempati Robert seorang diri, dan ia selalu menempati ruang rahasianya. Ruangan bawah tanah. Bereksperimen hingga bertahun-tahun. Setelah orang tua Robert menghilang, pengasuhnya berhenti, Robert berhenti sekolah.

Sesekali Robert keluar rumah untuk membeli makan. Di jalan orang-orang yang melihatnya, menyangka Robert orang gila. Sebab pakaiannya lusuh. Rambutnya tergerai panjang, kasar, dan tak beraturan. kumisnya lebat begitupun jenggotnya. Sedangkan Kabar menghilangnya orang tua Robert yang sempat heboh meredup. Semua orang sudah melupakannya.

Robert tak henti menatap layar monitor yang menjejal. Kabel-kabel berseliweran di ujung dinding. Terdapat banyak perangkat-perangkat keras melingkupi ruangan seperti Motor servo dan perangkat Pnumatik dengan nomor serial terbaru di jamannya . Pencahayaan ruangan redup.

Sesekali ia merubah-rubah program, lalu meng-klik tombol enter pada keybord, lantas tangan dari besi serupa jari manusia bergerak seolah ingin menggeggam. Robert tersenyum. Lantas ia kembali mengutak-atik program. Terdengar suara menyebutkan sesuatu. Lagi -lagi Robert tersenyum. Lalu ia menyambung-nyambungkan beberapa komponen. Menyolder. Mengelas. Begitu seterusnya. Hingga 25 tahun. Sementara di atas meja besar di belakang monitor komputernya tergeletak dua orang manusia. Yang sudah tak berbentuk. Dengan bau yang sudah akrab di hidung robert.

***

"Makanlah robert, kamu lapar kan? Biar ibu masakan makanan untukmu."

"Robert, sini ayah ajari kamu bermain bola."

"Robert, buku cerita mana yang kamu suka? Biar ibu bacakan buatmu."

Tangis Robert menderas. Satu persatu ia tatap wajah di depannya. Tangannya yang keriput pelan-pelan membelai mereka. Dan tangan orang-orang didepannya serta merta membelai wajah keriput robert. Ada kabel-kabel panjang, warna-warni yang menjulur dan menancap pada tangan tersebut. Juga terhubung di punggung dan kaki mereka. Kabel tersebut berasal dari CPU besar yang terpusat pada CPU kecil, tempat Robert menulis program.

"Aku mencintaimu Robert." Kini mereka bersamaan mengucapkannya. Robert tak kuasa menahan tangis untuk kesekian kalinya. Tubuhnya berguncang. Kembali ia tatap wajah Ibu dan Ayahnya. Tubuh mereka tak utuh lagi. Menyatu dengan beberapa perangkat keras. Hanya wajah mereka yang utuh. Sedangkan dalam kepalanya tertancap sekelumit rangkaian elektronik.

Ruang kesepian di hati Robert mengecil. Rasa kesepian itu sejenak terobati. Kini Robert bisa bersama orang tuanya lagi. Mendengar suara yang dirindukannya sejak lama. Yang pernah ia dengar ketika Robert masih kecil, saat kehidupannya masih sederhana. Saat orang tuanya masih memberi cinta untuknya.

Tak ada yang tahu, suatu malam, orang tua Robert mencari Robert ke seluru penjuru rumah. Tak sengaja ia menemukan ruang bawah tanah di bawah kasur. Setelah turun, Ia lihat anaknya tengah mengetik tanpa menyadari kehadiran mereka. Tak sengaja, sewaktu mereka menghampirinya. Mereka menginjak kabel yang sudah mengelupas. Seketika jutaan volt menyambar tubuh mereka, lantas saat itu juga mereka meregang nyawa.

Menyadari itu, Robert tak henti menangis. Ia menyesal sempat menunda memperbaiki kabel itu. Ia tatap wajah-wajah orang tuanya dan berjanji akan membuat mereka kembali seperti semula.

Rabu, 16 September 2015

Flash Fiction Prompt #88 Novelku

By Robi Suganda
                    

“Selalu mengambil diam-diam uangku, apa kau tidak jera?!!”
“Ini sudah keberapa kalinya?!”

Ibu meringkuk  di sisi meja.  Merintih dan terisak-isak. Sekujur tubuhnya nyeri akibat tangan Ayah yang melayang tanpa kendali. Tak ada sepatah kata pembelaanpun terlontar dari bibirnya yang bergetar ditengah isak. Kepalanya menunduk menghindari tatapan tajam Ayah. Urat-urat menyembul dari leher Ayah.

Pemandangan yang menjemukan ini entah sudah yang keberapa kali. Di tengah kegaduhan, aku hanya bergeming sambil menatap layar laptop punya Ayah. Tak kuasa melihat perlakuannya terhadap Ibu, sambil menahan pilu, sekuat tenaga mencoba konsentrasi mengerjakan tugasku.Tugas yang begitu penting.  Sebagian guru menyebutku jenius. Kata mereka, cara bertuturku melebihi usia anak kelas 5 SD pada umumnya. Merekapun terpukau membaca karangan ceritaku. “Kamu jenius, Robi! Kamu berbakat.” Ujarnya.

Suara Ibu melengking, membuyarkan konsetrasi, mengoyak hati dan menambah rasa pilu. Ayah berhentilah! Andai Ayah tahu enam bulan terakhir ini aku tengah menyusun novel. Seorang editor dari penerbit  mayor tidak sengaja melihat tulisanku di mading sekolah saat  diundang mengisi seminar guru.  Ia lantas penasaran membaca tulisan yang lain. Lantas mengajak bertemu, bertanya-tanya lalu menantang membuat novel.

“Dari gaya bahasa dan keunikan cerita-cerita pendek Adek, Adek itu berbakat  buat novel. Kalo Adek mau, Adek buat novel dalam enam bulan. Nanti kakak bimbing dan terbitkan kalo bagus.”
Aku girang bukan main. “Untuk pemula, Adek buat cerita dari penglaman sehari-hari saja.” Begitu katanya pertama kali membimbingku. Susah payah tiap malam merampungkan novel di tengah kegaduhan yang berulang  dan menyesakkan dada mendengar rintihan Ibu. Maafkan aku, Bu.
Kututup telingaku dengan earphone demi mengedit Novelku untuk yang terakhir kali. Rintihan Ibu menambah terus rasa bersalahku. Ayah hentikanlah.

Novel rampung. Kubuka email. Menuliskan alamat email Kakak editor. Menuliskan pengantar. Melampirkan file. Lalu menekansend. Oh ya sebelum itu kutulis judul novelku pada subjek email. “Anak yang mencuri dalam rumahnya.”
Bandung, 16 September 2015

List Resensi Novel



Spora - Sebuah Novel Horror